Selasa, 14 Oktober 2014

APLIKOM 3

PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Perkembangan demokrasi PraOrde Baru
Semenjak dikeluarkannya maklumat wakil presiden No. X 3 november 1945, yang menganjurkan pembentukan partai-partai politik, perkembangan demokrasi dalam masa revolusi dan demokrasi pearlementer dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas. Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasaan simbolik dan ceremonial, sementara kekuasaan pemerintah yang riil dimiliki oleh Perdana Menteri, Kabinet dan, Parlemen. Partai politik memainkan peranan sentral dalam kehidupan politik dan proses pemerintahan. Kompetisi antar kekuatan dan kepentingan politik mengalami masa keleluasaan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Pergulatan politik ditandai oleh tarik menarik  antara partai di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik di luar lingkungan kekuasaan,  pihak kedua mncoba menarik pihak pertama ke luar dari lingkungan kekuasaan.
Kegiatan partisipasi politik di masa ini berjalan dengan hingar bingar, terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasikan ideologi dan nilai primordialisme yang tumbuh di tengah masyarakat, namun hanya melibatkan segelintir elit politik. Dalam masa ini yang dikecewakan dari Soekarno adalah masalah presiden yang hanya sebagai simbolik semata begitu juga peran militer.
Akhirnya massa ini mengalami kehancuran setelah mengalami perpecahan antar elit dan antar partai politik di satu sisi, serta di sisi lain  akibat adanya sikap Soekarno dan militer mengenai demokrasi yang dijalankan. Perpecahan antar elit politik ini diperparah dengan konflik tersembunyi antar kekuatan parpol dengan Soekarno dan militer, serta adanya ketidakmampuan  setiap kabinet dalam merealisasikan  programnya dan mengatasi potensi perpecahan regional ini mengindikasikan krisis integral  dan stabilitas yang parah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Soekarno untuk merealisasikan nasionalis ekonomi, dan diberlakukanya UU Darurat pada tahun 1957, maka sebuah masa demokrasi terpimpin kini telah mulai.
Periode demokrasi terpimpin ini  secara dini dimulai dengan terbentuknya  Zaken Kabinet pimpinan Ir. Juanda pada 9 April 1957, dan menjadi tegas setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kekuasaan menjadi tersentral di tangan presiden, dan secra signifikan diimbangi dengan peran PKI dan Angkatan Darat.
Kekuatan-kekuatan Suprastruktur dan infrastruktur  politik dikendalikan  secara hampir penuh oleh presiden. Dengan ambisi yang besar PKI mulai menmperluas kekuatannya sehingga terjadi kudeta oleh PKI yang akhirnya gagal di penghujung September 1965, kemudian mulailah pada massa orde baru.
Dari uraian diatas dapat di simpulkan, antara lain:
  1. Stabilitas pemerintah dalam 20 tahun  bereda dalam kedaan memprihatinkan. Mengalami 25 pergantian kabinet, 20 kali pergantian kekuasaan eksekutif dengan rata-rata satu kali pergantian setiap tahun.
  2. Stabilitas politik sevara umum memprihatinkan. Ditandai dengan kuantitas konflik politik yang amat tinggi. Konflik yang bersifat ideologis dan primordial dalam masa 20 tahun pasca merdeka.
  3. Krisis ekonomi. Dalam masa demokrasi parlementer krisis dikarenakan karena kabinet tidak sempat untuk merealisasika program ekonomi karena pergantian kekuasaan yang sering terjadi. Masa demokrasi terpimpin mengalami krisis ekonomi karena kegandrungannya terhadap revolusi serta urusan internasional sehingga kurangnya perhatian disektor ekonomi.
  4. Perangkat kelembagaan yang memprihatinkan. Ketidaksiapan aparatur pemerintah dalam proses politik menjaadikan birokrasi tidak terurus.
  1. Perkembangan Demokrasi  Masa Revolusi Kemerdekaan.
Implementasi demokrasi pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan  baru terbatas pada interaksi  politik diparlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan. Meskipun tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada periode ini, akan tetapi pada periode tersebut telah diletakkan hal-hal mendasar. Pertama, pemberian hak-hak politik secara menyeluruh. Kedua, presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi dictator. Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden, maka dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai politik yang kemudian menjadi peletak dasar bagi system kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik kita.
  1. Perkembangan demokrasi  parlementer (1945-1959)
Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959, dengan menggunakan UUD Sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Pada masa ini adalah masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat ditemukan dalam perwujudan kehidupan politik di Indonesia. Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepad pihak pemerintah  yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam periode ini  merupakan contoh konkret  dari tingginya akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi. Ada hampir 40 partai yang terbentuk dengan tingkat otonomi yang tinggi  dalam proses rekruitmen baik pengurus, atau pimpinan partainya maupun para pendukungnya.
Demokrasi parlementer gagal karena (1) dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik; (2) basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah;(3) persamaan kepentingan antara presiden Soekarno dengan kalangan Angkatan Darat, yang sama-sama tidak senang dengan proses politik yang  berjalan.
  1. Perkembangan Demokrasi  Terpimpin (1959-1965)
Sejak berakhirnya pemillihan umum 1955, presiden Soekarno sudah menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-partai politik. Hal itu terjadi karena partai politik sangat orientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan dan kurang memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh.disamping itu Soekarno melontarkan gagasan bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan gotong royong.
Politik pada masa ini diwarnai oleh tolak ukur yang sangat kuat antara ketiga kekuatan politik yang utama  pada waktu itu, yaitu: presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat. Karakteristik  yang utama dari demokrasi terpimpin adalah: menggabungkan sistem kepartaian, dengan  terbentuknya DPR-GR peranan lembaga legislatif dalam sistem politik  nasionall menjadi sedemikian lemah, Basic Human Right menjadi sangat lemah, masa demokrasi terpimpin adalah masa puncak dari semnagt anti kebebasan pers, sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif. (Sunarso, dkk. 2008:132-136)
Perkembangan Demokrasi  dalam Pemerintahan Orde Baru
Wajah demokrasi mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan tingkat ekonomi, poltik dan, ideologi sesaat atau temporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru  ditandai oleh adanya kebebasan politik yang besar. Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila. Dalam masa yang tidak lebih dari tiga tahun ini, kekuasaan seolah-olah akan didistribusikan kepada kekuatan masyarakatan. Oleh karena itu pada kalangan elit perkotaan dan organisasi sosial politik yang siap menyambut pemilu 1971, tumbuh gairah besar untuk berpartisipasi mendukung program-program pembaruan pemerintahan baru.
Perkembangan yang terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat. Negara Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, dan sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkungan kekuasaan danproses formulasi kebijakan. Kedaan ini adalah dampak dari (1) kemenangan mutlak dari kemenangan Golkar dalam pemilu yang memberi legitimasi politik yangkuat kepada negara; (2) dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasai, depolitisasai, dan institusionalisasi; (3) dipakai pendekatan keamanan; (4) intervensi negara terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasaan kepda negara untuk mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi; (5) tersedianya sumber biaya pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta dari komoditas nonmigas dan pajak domestik, mauppun yang berasal dari bantuan luar negeri, dan akhirnya (6) sukses negara orde baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok rakya sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensinya muncul karena sebab struktural.
Pemberontakan G-30-S/PKI merupaka titik kulminasi dari pertarungan atau tarik tambang politik antara Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunisme Indonesia. Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah. Beberapa karakteristik pada masa orde baru antara lain: Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hamper ridak pernah terjadi. Kedua, rekruitmen politik bersifat tertutup. Ketiga, PemilihanUmum. Keempat, pelaksanaan hak dasar waega Negara. (Rukiyati, dkk. 2008:114-117)
Perkembangan Demokrasi  Pada Masa Reformasi (1998 Sampai Dengan Sekarang).
Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.
Amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya laginya perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar lembaga-lembaga negaranya, dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model demokrasi yang dilaksana-kan dibandingkan dengan model Demokrasi Pancasila di era Orde Baru. Dalam masa pemerintahan Habibie inilah muncul beberapa indicator kedemokrasian di Indonesia. Pertama, diberikannya ruang kebebasan pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan. Kedua, diberlakunya system multi partai dalam pemilu tahun 1999.
Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini adalah demokresi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik tang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-1959. Pertama, Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya. Kedua, ritasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampi pada tingkat desa. Ketiga, pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka. Keempat, sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat.

http://tifiacerdikia.wordpress.com/lecture/lecture-1/ilmu-kewarganegaraan/perkembangan-demokrasi-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar